Feeds:
Pos
Komentar

THE ONE FOR ME – 2805.07

It’s only you

the one for me

to be inside or outside of this strange planet

When I’m with you

you set me free

as free as a bird go high through grey skies

you

are the magic of my life

you

are the last gift I receive, to fulfill my destiny of life.

(I am blessed with love, in many ways!)

(Thanks to Melodie Saxton)



Ketika sebuah pilihan diajukan kepada kita, sejujurnya kita pasti akan menentukan satu di antara dua. Mudahkah itu?

Mengerjakan tugas atau menelantarkannya. Menikmati semangkuk bakso atau setangkup roti sandwich. Menikmati liburan di pantai Kuta atau mendaki tingginya Rinjani. Menutup mata saat menyaksikan sequel SAW atau membuka mulut (dan mengeluarkan gelak tawa) kala menyaksikan serial MR. BEAN.

Semuanya kembali kepada PILIHAN. Semuanya akan mengarah kepada penentuan sikap kita, ke arah mana mau menuju. Ujiannya ada di situ: apakah kita mampu membuat diri kita tidak terlibat dengan emosi, ataukah melupakan nalar sehingga pilihannya jadi subyektif? Ini bukan tes yang berbentuk essai, tapi multiple choice, yang kalau dulu di zaman kita masih SMP or SMA, kadang bikin bingung. Akhirnya nggak jarang juga kita “bermain kancing” (*smile mode: ON*), should we take a, b, c or d.

Sulit?

Jangan patah semangat. Ketika dalam kehidupan kita dihadapkan kepada pilihan, IKUTILAH KATA HATI. Selami kedalaman nurani dengan perlahan, dan temukan jawaban atas pilihan di atasnya. Ada ribuan jawaban di sana, tapi hanya ada SATU penentuan atas sikap dan perilaku kita yang bisa dikeluarkan sebagai THE RIGHT ANSWER.

Perlu berdoa?

TENTU SAJA. Kewajiban kita adalah meng-hamba kepada Sang Pengasih. Melihat ibadah sebagai suatu kebutuhan of our body and soul. Makanya nggak ada pilihan lain, melakukan ikhtiar dengan berbagai cara (yang halal), sehingga membukakan mata hati kita untuk MAMPU menentukan PILIHAN yang sulit sekalipun.

It’s all a matter of choice. Sejak kita bangun pagi, hingga kita kembali menutupkan mata untuk beristirahat sejenak dari kepenatan dunia. Jangan ragu untuk menjadikan jawaban yang telah ditemukan sebagai pilihan pasti dalam kehidupan kita. Kalaupun suatu saat kita merasa bahwa pilihan itu salah, coba deh lihat ke belakang, pada saat kita menentukan pilihan, maka pada saat itulah kita mengawali jejak perjalanan hidup. Penentuan seperti ini yang bikin kita menjadi mampu untuk: menentukan PILIHAN-PILIHAN berikutnya, yang di waktu lain mungkin akan lebih rumit. Atau –ini yang menyenangkan-, malah LEBIH MUDAH.

Bicara CINTA dan PERASAAN gimana?

Hmmm..tough question. But, hey, look at the bright side. We still could see the beauty of how love can be. Ada saat di mana kita berbunga-bunga, seolah memiliki sayap untuk menembus nirwana, di PENENTUAN PILIHAN kita atas our soul mate. Namun bisa jadi di saat yang lain kita jatuh di kedalaman, karena PILIHAN itu juga. Memilih untuk hidup dengan keindahan cinta memang menjadi PILIHAN yang berbeda. Kita akan menjadikan pasangan sebagai seseorang yang mengerti luar dalam, mampu menemani jiwa kita dalam suka dan sedih, hingga ke pemenuhan perasaan dahaga yang selama ini nggak pernah ditemukan.

Lalu gimana saat cinta HARUS PERGI…?? (ahhh….)

Tetap harus memilih. Menentukan posisi diri kita di mana. Memilih apa yang harus diambil. Hingga menjumput kesimpulan: akankah kita tenggelam dalam kesedihan mendalam, atau mau melaju terus di dunia nyata. Ingat, nggak sulit mendapatkan cinta, tapi susahnya (minta ampun) kala cinta harus pergi  dari hati kita. Apalagi ini bicara hati. Di sisi yang lebih positif, kesedihan bukankah merupakan bagian dari dunia cinta ini juga?

Kita yang menentukan apa, bagaimana, ke mana PILIHAN kita. Kita yang menuntun hati kita ke arah yang tepat menuju kesempatan yang menyenangkan. Kita yang membuat diri kita terpeleset dalam kesulitan hidup. Kita yang menyeret suka cita dalam setiap saat kita menghirup nafas.

KITA…., dan BUKAN ORANG LAIN.

So, just follow your heart to choose something. Because our life is truly only a matter of choice. Bijaklah dalam memilih, dan nikmati pilihanmu, bagai senyuman manis di bibir kala matahari menyapa dunia. Happy choosing…

IN LOVE WITH JOGJAKARTA

Kembali ke Jogja.

Itu salah satu bagian dari spirit untuk menyusuri keindahan Indonesia, melalui kehidupan saya yang sederhana ini. Ada banyak kota lain –sebetulnya- yang memang bisa dipilih. Tapi, nggak ada kota lain (buat saya) yang keindahannya penuh dengan tradisionalisme, simplicity, kesunyian (kota) bagai di masa kanak-kanak saya, hingga ke keriuh-rendahan budaya Jawa yang begitu klasik.

Di Jogja, saya seolah terbuai dalam belaian kasih sayang sebuah kota yang begitu sederhana kehidupannya, dengan banyak keragaman budaya yang nggak henti menabuhkan suara keindahan buat telinga saya. Ke manapun arah kaki saya pergi, atau apapun yang saya lihat, membuat saya menyebut kesucian nama-Nya berkali-kali. Subhanallah, betapa hebatnya sang Pencipta membuat karya yang begitu agung dan unik seperti kota ini.

Saya bahkan masih ingat, betapa begitu “Jawa”-nya Jogja. Apapun bentuk yang keluar dari kota itu, semerbak warna “Jawa” begitu kental. Seperti kala (di salah satu malam saya) di sana, saya terkesima dengan begitu cool-nya Jogja karena seolah semuanya berhenti sesuai time clock. Nggak ada lagi keramaian, atau bentuk suka cita malam bagai di kota-kota besar lain di Indonesia (atau jangan-jangan saya nggak ketemu aja waktu itu, *smile mode: on*). Nikmatnya pagi hari Jogja juga selalu bikin saya ‘kesengsem’. Bayangkan, saya seperti mundur ke zaman batu (baca: masa kecil), di mana kendaraan nggak banyak, pertokoan hanya berbentuk rumah biasa yang simple, dan sopan santun semua orang yang (katanya) menjadi ciri khas negeri kita. Saya (waktu itu) tentu saja memilih untuk menutupi pagi dengan berkunjung ke alun-alun, mencicipi kuliner khas Jogja di pinggiran sisi kota itu yang variatif, sembari menyaksikan pagi berubah menjadi siang.

Mungkin agak absurd jika saya ingin mengajak banyak orang (including all of you) buat ‘nyambangi’ Jogja. Mengarungi lautan keindahan kota gudeg ini dengan hati yang lepas, penuh suka cita, dan memori yang bisa bikin “cekat cekit enak” kalau diingat. Tapi ya itulah.., to be honest with you, Jogja is a very beautiful city. Nggak berlebihan kan, kalau akhirnya ke-absurd-an saya ini (setidaknya) dijadikan reference untuk menetapkan hati mengunjungi kota yang pernah jadi ibukota kita semasa penjajahan dulu…(lumayan laahhh…tulisan ini bisa jadi referensi…*ngarep dot com*).

Di akhir obrolan kita kali ini, tersisip opening lyric milik KLa Project, yang lagunya nyentil saya buat bikin tulisan ini:

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat…penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu

Nikmati bersama, suasana Jogja….

Saya ingin kembali ke Jogja, menunggu sapaan sahabat yang memiliki makna ribuan kali bagi diri saya.

Jogja I Love You

(with many thanx to Katon, Lilo, Adi, Ari, via konser Grand Reunion-nya…., you ROCK guys!!!)

THE RAIN

Mana yang lebih baik? Mendapatkan kehangatan melalui matahari, atau memperoleh kesejukan dari hujan? Dua-duanya asyik buat saya. Dua-duanya (banyak) memberikan keuntungan. Dan -percayalah- saya akan selalu mensyukuri itu.

Bukannya kemudian menyepelekan salah satunya, tapi sekarang saya ingin lebih banyak bicara tentang HUJAN. Mumpung masih ‘hangat’ cerita tentang hujan (hujan kok hangat? *smile mode: ON*), atau kekhawatiran saya dengan banyaknya daerah genangan yang bikin macet jalan, mulai dari jalan protokol hingga ke gang kecil sekalipun.

Lalu kenapa HUJAN?

Hujan itu indah. Bisa bikin kegerahan jadi kesejukan. Bisa bikin kepanasan jadi adem. Menyatukan pikiran seperti ini malah selalu bikin saya terkesiap. Coba deh rasain, setelah hujan turun betapa sejuknya bau rumput basah. Atau nikmati deh bau tanah hujan (saya selalu ingat dengan kata-kata itu: BAU TANAH HUJAN, karena saya sering selipkan dalam tulisan-tulisan saya). Buat saya, momen-momen itu melambungkan diri saya akan rasa rindu yang begitu lama, dan akhirnya terhapus.

Hujan saat kemarau nggak ada hentinya, bagaikan pertemuan dua sahabat lama yang tetesan kangennya meleleh di sisipan hati. Terlalu romantis untuk diungkapkan. Bahkan bisa bikin saya terenyuh, dan ingin terbawa larut dalam melankolisme kisah hidup.

Lalu, gimana dengan Jakarta? Jakarta, hujan, pagi hari. Udara kotor seolah nggak ada. Car Free Day (yang hanya ada di) akhir pekan, jadi nggak ada artinya. Semuanya luluh dan menjadi bersih. Meskipun kadang hujan yang berlebihan bisa bikin banjir, tapi saya percaya hujan adalah BERKAH. Udara dingin yang menerpa wajah di subuh pagi hari Jakarta selalu memberikan saya makna yang nilainya nggak bisa dihitung dengan kalkulator atau metode hitungan apapun.

Closing saya kali ini.., saya jumput tulisan saya (*narsis dot com*, wikikikik..), yang pernah hadir di sebuah sebuah alamat situs di dunia maya, tertanggal 19 Januari 2009, Senin pagi jam 06.00:

Rain

Hujan pagi hari

Matahari belum bersinar, tetapi Jakarta sudah basah. Hujan menetes di belahan ibukota ini, dan meninggalkan pesan yang begitu indah:

Nikmati hidupmu dari saat engkau membuka mata, hingga kembali menutupkan mata, bagaikan air yang menghujani dunia ini detik demi detik…

Indahnya hujan pagi hari di Jakarta, dan aku bersyukur untuk itu…

Alhamdulillah..


Have a very lovely rainy day…

Setiap kali -dalam hidup saya- saya bangun pagi, hal yang paling mengesankan dan menyenangkan adalah bangun dengan kebahagiaan. Ada harapan indah dalam hidup yang ingin saya lalui. Ada cita-cita yang ingin saya tuju. Ada pencapaian yang ingin saya lampaui.

Hidup akhirnya jadi indah. Penuh warna dan penuh arti. Seolah nggak ada batasan dan limited path yang mesti saya tetapkan.

Di saat-saat seperti itulah, saya kemudian berani untuk maju ke kehidupan baru, yang penuh dengan janji manis kehidupan. Bahkan di saat yang sama, saya makin menepi ke kerendahan hati -agar makin tahu- bahwa Tuhan adalah satu-satunya Dzat Maha Mulia, yang bisa bikin nilai hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri (and more or so, bermanfaat bagi banyak orang). Rasanya langkah saya untuk bergerak jadi makin ringan dan lincah. Beban yang seolah beratnya di atas 500 kilogram jadi lenyap, habis ditelan bumi. Semua pekerjaan saya jadi menyenangkan. Saya juga jadi bisa memberi senyum dan tawa buat semua orang. Atau jadi mampu menuangkan kreativitas tanpa batasan.

Inginnya selalu -dan selalu- seperti itu. Hidup bagaikan sebuah kelahiran baru. Masih bersih. Masih jernih. Masih cling. Kalaupun ada variasi, itu hanya karena keindahan dan keajaiban yang dikasih Tuhan aja. Ada matahari dengan kehangatannya, ada pelangi yang beraneka warna, ada hujan yang dinginnya menyegarkan, dan ada awan yang putihnya jadi sempurna bila disatukan dengan birunya langit.

Lucunya, meski ada kata-kata “inginnya”, tapi saya tahu nggak semuanya bisa seindah saya bayangkan (atau saya inginkan). Semuanya akan kembali ke pengaturan jalan hidup oleh-Nya, lewat kepasrahan kita, di manapun kita berada, dan kapanpun saatnya. Saya akhirnya kemudian “membiarkan” apa yang terjadi menjadi rahasia milik-Nya yang nggak perlu dipertanyakan (note: tapi bukan tanpa usaha dan doa).

Saya menyadari bahwa hidup ini indah. Nggak perlu banyak neko-neko, hidup kita bisa mengalir seperti keindahan matahari menerangi bumi, manisnya hujan di saat panas melanda, atau bahkan bagaikan pelangi yang warnanya bisa jadikan awan lebih hidup.

Saya ingin menghargai hidup ini. Dan memulai segalanya (setiap saat, setiap waktu) dengan kebahagiaan. Menjadikan senyum dan tawa bagian dari itu, dan menutup luka serta sedih mendalam with many -many- happiness.

Selamat menikmati hidup, and let’s start our day with: HAPPINESS